Melukis Senja


"Tatkala senja menyapa, kala itu pula melambaikan tangan pada mentari. Menyambut hangat sang rembulan. Seakan menantikan lembayung tuk memeluk kelamnya malam"

Kata orang secangkir teh dan lembayung senja adalah satu momen yang sayang tuk dilewatkan. Bagi saya, berjalan pulang ke rumah disambut langit senja sudah cukup untuk menjadi satu hal yang begitu hangat, terabadikan. Seakan peluh terhapuskan dan lelah terobati. Dunia terasa ringan.
Sayangnya, saya lupa bahwa ada malam yang menanti untuk mengganti sang senja. Sejak kecil, bagi saya gelap adalah musuh. Ingin melihat bintang pun, langit malam kini seakan tak ingin meng-amin-i. Hingga, hanya gelap yang terlihat. Kelam. Saya tak suka.

...

Lagi-lagi seperti hidup, apa yang kita nantikan terkadang tak bisa tinggal tuk selamanya. Selalu ada hal menyebalkan yang menggantikannya dan lagi-lagi kita tak bisa mengelak karena roda hidup pasti berputar. 

Ternyata, bahagia memang tak bisa dinanti dan tak abadi, ya

Seperti senja yang selalu dinanti dan digantikan kelamnya malam. Seperti itu pula bahagia yang dinanti dan digantikan oleh kesedihan, amarah, dan kekhawatiran. Tak ada yang menetap selamanya.
Maka, melukis senja adalah satu pilihan untuk berbahagia. Dimanapun. Kapanpun.

Melukis senja untuk mereka yang penat harinya. Melukis senja untuk mereka yang dingin hatinya. Memberi kehangatan.

Begitu pula dengan berbahagia. Dimanapun. Kapanpun.

...

Teruntuk kamu yang sedang menanti kebahagiaan. Lukislah.
Karena menanti bukan sebuah jawaban, melainkan berujung pada lelah.
Jadi, berbahagialah.

...

Dan, lukislah senja di hari-harimu, sang penikmat senja.

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top